Kamis, 23 September 2010

Amblesan Jalan RE.Martadinata

AMBLESAN YANG TERJADI DI JALAN RE.MARTADINATA...., MENGAPA SELALU MENYALAHKAN ALAM..?

Pada tanggal 16 September kira-kira antar pukul 3.00 – 4.00 pagi telah terjadi suatu fenomena alam berupa amblasnya jalan RE.Martadinata Jakarta Utara sepanjang + 103 m dengan kedalaman amblesan sekitar 8 m. Jalan RE.Martadinata yang amblas terletak tidak jauh dari pelabuhan Tanjung Priok. Berdasarkan informasi jalan tersebut baru saja di beton karena selalu mengalami penurunan. Dari apa yang terlihat baik lokasi maupung bekas kejadian di TKP kondisi badan jalan cukup kuat. Tetapi bila ditelusuri kebawah lagi (secara vertikal) maka dapat terlihat bahwa jalan telah mengalami beberapakali peningkatan dan pengurugkan. Bila ditinjau hingga pada lapisan yang paling bawah ternyata lapisan bawah merupakan lapisan tanah lunak. Maka dapat dikatakan bahwa seluruh badan jalan bertumpu pada laisan tanah lunak.
Penyebab dari amblesan di jalan RE.Martadinata tersebut banyak yang mengarahkan tudingan ke alam (kasihan deh lo alam..) ada yang mengatakan bahwa itu sebagai akibat abrasi, intrusi air laut, iklim berubah dan lain-lain hingga pemanfaatan air tanah yang berlebihan. Tudingan-tudingan ini membuat masyarakat menjadi bingung dan resah sehingga banyak isue yang beredar mengenai jakarta di masa depan.
Bila kita bijak dalam melihat suatu kasus amblesnya jalan RE.Martadinata perlu kita pilah-pilah dugaan-dugaan yang tidak terkait dengan fenomena alam ini, dengan membuat suatu pertanyaan yang sangat mendasar sebagai berikut :
- Fenomena alam apa yang terjadi dan bagaimana skalanya..?
- Kemungkinan apa penyebabnya..?
- Apa pengaruh terhadap sekitarnya..?
- Bagaimana solusinya..?
Fenomena alam apa yang terjadi..? Fenomena alam yang terjadi berupa suatu longsoran, amblesan yang bersifat lokal sepanjang 103 m dan tidak bersifat global Jakarta Utara.
Kemungkinan apa penyebabnya..? Kejadian tersebut dapat disebabkan oleh : pembebanan terlalu berlebihan, daya dukung yang lemah, perubahan geometri lereng dan pasang surut yang diikuti rapid draw down. Kemungkinan2 tersebut di ambil karena melihat lokasi kejadian terletak di pinggir laut yang digunakan untuk manufer parkir kapal-kapal besar.
Kaitan penyebab tersebut dengan kondisi yang ada adalah sebagai berikut :
Pembebanan jalan bertambahsebagai akibat pembetonan ulang untuk mengantisipasi penurunan tanah, padahal jalan hanya bertumpu pada lapisan tanah lunak setebal 12 m.Pembetonan ulang selain menambah beban juga merubah geometri lereng jalan terhadap tepi air. Pengaruh pasang surut ternyata tidak berkontribusi pada terjadinya amblesan tersebut, karena laut cukup tenang dan relatif stabil.
Untuk dapat melakukan manufer parkir kapal dilakukan pengerukan dengan perioda tertentu, maka berakibat lemahnya daya dukung dinding jalan yang tidak mempunyai dinding penahan (returning wall).


Gambar ilustrasi kemungkinan terjadinya long sor





Apa pengaruhnya terhadap sekitarnya..? Pengaruhnya sangat besar, karena jalan RE.Martadinata merupaka urat nadi transportasi ke pelabuhan, jadi merupakan jalur yang sangat penting.
Bagaimana solusinya..? Solusinya adalah melakukan penyelidikan tanah sedetil mungkin hingga dapat diantisipasi kemungkinan meluasnya longsoran tersebut dan sesegera mungkin membuat alternatif jalan pengganti jalan tersebut. Bila akan dibangunkan kembali jalan tersebut maka perlu di terapkan teknologi yang dapat mengantisipasi kondisi tanah disekitar daerah tersebut.
Dari hasil menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dapatlah di simpulkan bahwa :
- Fenomena yang terjadi adalah longsoran yang berifat lokal dan bukan global Jakarta Utara.
- Kejadian tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan faktor penyebab utama yang berupa erosi, abrasi, intrusi air laut, amblesan Jakarta , pasang surut muka air laut, rusaknya ekosistem mangrove dalam kejadian bencana longsornya jalan RE.Martadinata.
- Tidak adanya dinding penahan yang kuat dipinggir laut
- Kurangnya koordinasi yang terpadu dalam pembangunan di jakarta utara


JANGALAH SELALU KITA MENYALAHKAN ALAM DAN PROSESNYA BILA KITA BELUM BECUS MEMANFAATKAN ALAM INI.


JANGANLAH KITA MENJADI BAGIAN DARI MASALAH, TETAPI COBALAH KITA MASUK DALAM BAGIAN DARI SOLUSI.


Mudah2an tulisan ini cukup bermanfaat dan dapat mengurangi keresahan dan kebingungan.
(rey)

Jumat, 11 Juni 2010

PENGERTIAN GAS METANA BATUBARA


Gas Metana Batubara adalah natural gas yang di produksi oleh lapisan batubara, mengandung 90% gas metan dan 10%nya adalah carbon diokside & nitrogen yang merupakan jenis gas bumi (hidrokarbon) dan merupakan energi yang lebih ramah lingkungan di mana gas metana menjadi komponen utama yang terjadi secara alamiah dalam proses pembentukan batubara (coalification) dalam kondisi terperangkap dan terserap (teradsorpsi) di dalam (seam) lapisan batubara.

Ada dari beberapa pakar memberi pengertian Gas Metana Batubara (CBM) sebagai gas alam yang terjadi di dalam lapisan batubara atau diproduksi dari suatu lapisan batubara. CBM hadir dalam mikropori batubara dalam bentuk terkondensasi hampir seperti bentuk cair karena serapan fisika dari batubara. Terserapnya CBM dalam batubara ini sama seperti terserapnya air dalam silika gel.

Gas terproduksi biasanya pada laju dan tekanan yang rendah. Gas Metana Batubara terbentuk akibat dari proses biologi & proses thermal yang di pengaruhi oleh adanya tekanan.

Gas metana di batubara dapat berupa; gas bebas, gas yang larut dalam air di batubara atau gas yang meresap di permukaan batubara bituminous. Berdasarkan komposisi kimia, variasi batubara sangat mewakili permeabilitas dan karakteristik lainnya. Permeabilitas merupakan kunci karakteristik di mana ketika tekanan air berkurang lapisan batubara harus melepaskan gasnya untuk berpindah. Sebagian besar gas metana batubara (90%) terdapat di dalam struktur molekul batubara(macropore) dan beberapa di antaranya (10%) terdapat di dalam rekahan (cleat) batubara (micropore) atau larut oleh air yang terjebak pada rekahan. Gas metana akan mengalir ke rekahan dan sampai ke sumur bor atau bermigrasi ke permukaan, metana yang muncul ke permukaan batubara akan di lepaskan.

Generasi Gas Metana Batubara
Gas metana batubara di hasilkan dari 2 reaksi yaitu kimiawi dan biologi. Aktivitas kimiawi terjadi setiap ada panas dan tekanan dalam cekungan yang di sebut juga peristiwa thermogenic. Semakin dalam lapisan batu bara, maka makin rendah kadar airnya tapi airnya akan menjadi semakin saline. Volume gas akan meningkat seiring dengan naiknya coal rank dan seberapa jauh lapisan batubara di temui dan tekanan reservoirnya (UGS 2000).
Peat dan lignite yang mempunyai rank rendah tapi memiliki porositas dan kandungan air yang tinggi serta temperatur yang rendah dan beberapa fluida lainnya yang secara biogenik mampu memproduksi gas metana. Batubara type bituminous dapat menghasilkan air, menurunkan porositas dan gas metana terbentuk secara thermogenic karena temperature naik di atas rata-rata jumlah bakterinya. Pada saat yang sama tekanan mampu menurunkan campuran organik dan melepaskan gas metana dan hidrokarbon. Namun gas anorganik dapat pula di hasilkan oleh penurunan thermal di batubara. Batubara type antrachite memiliki gas metana, porositas serta kandungan air di matrik yang lebih sedikit (gambar 2.5). Pada type Peat di sertai dengan adanya longsoran tanaman dan lignite (batubara coklat) yang dapat meningkatkan metana biogenik, di hasilkan oleh bakteri methanogenik.

Gas metana batubara sama seperti gas bumi yang kita kenal saat ini, namun perbedaannya gas metana batubara terbentuk dan tersimpan dalam batubara yang berfungsi sebagai reservoir dan sekaligus sebagai source rock. Komposisi gas metana batubara umumnya di dominasi oleh gas metana (C1) dengan sedikit kandungan gas etana (C2); karbon dioksida (CO2) dan material pengotor lainnya. Kondisi gas seperti ini tidak mungkin di lakukan nilai tambah menjadi LPG. Namun gas metana batubara dapat di cairkan (LNG) atau di ubah menjadi produk petrokimia seperti DME untuk keperluan BBM alternatif sehingga dapat di transportasikan melalui alat angkut.
Gas bumi yang kita kenal saat ini (gas konvensional) walaupun ada yang terbentuk, keberadaannya tersimpan dan di produksikan dari reservoir lain seperti batupasir, batugamping maupun dari rekahan batuan beku.
Produksi gas metana batubara harus di awali dengan produksi air formasi sebagai kegiatan rekayasa menurunkan tekanan hidrostatik sampai pada tekanan desorpsi gasnya, hingga gas metana dapat mengalir ke lubang bor. Kegiatan rekayasa ini membutuhkan waktu relatif lama. Sedangkan gas konvensional, setelah di lakukan pemboran, bisa langsung di produksikan.

Teknologi penambangan gas metana batubara memiliki persamaan dengan teknologi penambangan gas konvensional, sama-sama memerlukan pemboran untuk mengangkat gasnya ke atas dan menggunakan fasilitas permukaan (surface facilities) untuk memproses dan mengalirkan gas ke tempat tujuan. Namun keduanya memiliki banyak perbedaan, selain jenis reservoir dan cara memproduksinya, reservoir gas metana batubara umumnya ekonomis di tambang pada kedalaman yang dangkal sekitar (250m -1500m; umunya < 2000m), sedangkan gas konvensional yang tersimpan dalam batupasir, batugamping dan rekahan batuan beku umumnya terbenam lebih dalam (>1500m). Lebih lanjut, karakter porositas dan permeabilitas batuan resevoir umumnya berbeda jauh, batubara lebih rendah atau kecil. Permukaan reservoir gas metana batubara (skin) sangat sensitif terhadap asupan lumpur bor, sedangkan untuk reservoir konensional kurang sensitif.

Kamis, 10 Juni 2010

GENESA GAS METANA BATUBARA


Terjadinya Gas Metana Batubara
Terjadinya gas methan dalam batubara dengan dua cara yaitu biogenic dan thermogenic.

Biogenic Gas
Biogenic Gas terutama dalam bentuk gas methane CH4 dan CO2. Gas-gas ini dihasilkan oleh penguraian bahan organik oleh mikroorganisme yang biasanya terbentuk di rawa gambut sebagai cikal bakal terbentuknya batubara.
Biogenic gas bisa terjadi pada dua tahap yaitu tahap awal dan tahap akhir dari proses pembatubaraan.
• Tahap awal : gas yang terbentuk oleh aktivitas organisme pada tahap awal pembentukan batubara, dari gambut – lignit hingga subbituminus (Ro <0.5%). Pembentukan gas ini harus disertai dengan proses pengendapan yang cepat, karena kalau tidak ada pengendapan cepat, gas akan segera menjadi gas bebas yang menguap ke atmosfer.
• Tahap akhir : gas yang terbentuk oleh aktivitas mikroorganisme setelah lapisan batubaranya sendiri terbentuk. Batubara umumnya adalah aquifer, aktivitas mikro organisme dalam akuifer tersebut bisa memproduksi gas methane. Proses ini bisa terjadi pada batubara dengan rank manapun.

Thermogenic Gas
Thermogenic gas adalah gas yang terjadi pada saat terjadinya proses pembatubaraan yang lebih tinggi yaitu pada rank subbituminus A – high volatile bituminous keatas (Ro > 0.6%). Proses bituminisasi akan menghasilkan batubara yang lebih kaya akan karbon dengan membebaskan sejumlah zat terbang utama yaitu CH4, CO2 dan air.
Gas-gas ini terbentuk secara cepat sejak rank batubara mencapai high volatile bituminus hingga mencapai puncaknya di low volatile bituminus (Ro = 1.6%). Secara grafis pembentukan individu gas menurut rank bisa dilihat dalam Gambar 1.
Dalam penilaian potensi coal bed gas di suatu wilayah, pembuatan peta isorank yang memperlihatkan variasi lateral dari rank suatu lapisan batubara akan sangat berguna untuk memperkecil daerah sasaran kajian.

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Serapan Gas dalam Batubara
• Tekanan :Makin besar tekanan makin besar kapasiotas serapannya tetapi dengan kecepatan yang makin berkurang sewaktu mendekati batas jenuhnya. Berkurangnya tekanan akan memperbesar desorbsinya/pelepasan gasnya. Dengan kata lain kandungan gas dalam batubara akan makin besar dengan meningkatnya kedalaman. Di dekat permukaan hingga kedalaman tertentu (sekitar 300 m ) dimana tekanannya kecil , gas-gas CBM akan gampang terbebas ke atmosfer karena kapasitas serapan gas dari batubara terbatas. Oleh karena itu biasanya potensi CBM terdapat pada kedalaman yang cukup untuk mencapai tekanan optimal.
• Temperatur :Makin tinggi temperatur makin kecil kapasitas serapannya atau mempertinggi desorpsi gasnya. Hal ini penting untuk menentukan batas bawah potensial dari gas methan tergantung pada gradien geotermal.
• Mineral matter : Gas Methan hanya terikat pada fraksi organik dari batubara. Padahal batubara mengandung pengotor dalam berbagai bentuk yang biasanya disebut mineral matter atau dalam analisa kimia dicerminkan oleh kandungan abu dan sulfurnya. Dalam hal ini mineral matter menempati ruang yang seharusnya bisa dipakai untuk menempelnya CBM dalam mikropore batubara . Makin tinggi kandungan mineral matternya makin kecil kapasitas serapan gasnya. Dalam menghitung kapasitas serapan batubara kandungan mineral matter ini harus diperhitungkan.
• Moisture : Pada prinsipnya kandungan moisture dalam batubara juga mempunyai sifat yang sama dengnan mineral matter dalam kaitannya dengan kapasitas serapan gas dalam batubara. Jadi makin tinggi kandungan air dalam batubara maka makin kecil kapasitas serapan gasnya. Dalam perhitungan kandungan gas dalam batubara hal ini juga harus diperhatikan.
• Rank Batubara: Dengnan berjalannya proses pembatubaraan (coalification) gas-gas CH4, CO2, Nitrogen dan air akan terbentuk. Metana akan terbentuk dengan kecepatan yang makin tajam ketika proses pembatubaraan bergerak dari batubara high volatile bituminus ke batubara low volatile bituminus. Sedangkan CO2, walaupun sangat mungkin akan terserap ke dalam batubara, gas ini akan mudah terlarut dalam air sehingga CO2 akan terbuang bersama air sewaktu proses dewatering. Sedangkan Nitrogen yang mempunyai daya serap rendah akan mudah dilapaskan/dibebaskan. Sebagai akibat dari itu semua maka CH4 menjadi komponen utama gas dalam batubara.

Karena kapasitas penyimpanan gas meningkat dengan meningkatnya rank batubara maka bila rank batubara lebih tinggi kemungkinan besar juga mempunyai kapasitas serapan gas yang lebih besar.

• Komposisi Maceral Batubara : Kelimpahan kandungan gas dalam batubara juga dipengaruhi oleh komposisi maceral dari batubara. Exinite atau liptinit ( type II dari organik matter) yang banyak mengandung hidrogen akan paling banyak menghasilkan gas metana disusul dengan vitrinit (tipe III organik matter).


Rekahan sebagai faktor utama yang menentukan permeabilitas lapisan

Walaupun batubara mempunyai porositas yang besar tetapi permeabilitas lapisan terutama ditentukan oleh sistem rekahan (cleat) dalam lapisan batubara. System rekahan ini merupakan jalan utama alamiah dari gas dan air yang bisa mempengaruhi ekonomis tidaknya suatu program pengembangnan eksplorasi gas dalam batubara.

Spasi rekahan dipengaruhi oleh :
• Rank : spasi rekah berkurang dari subbituminus hingga medium-low volatile bituminus dan naik lagi ke antrasit. (Rekah terbanyak pada rank medium-low volatile bituminus).
• Tebal lapisan : spasi rekah membesar dengan tebal lapisan batubara (rekah berkembang pada lapisan yang tipis).
• Lithotype : rekah terbanyak pada lapisan yang vitreous – mengkilap/glassy yang biasanya dibentuk oleh maceral yang kaya vitrinit (vitrain dan clarain), rekah juga bisa ditemukan dilapisan yang dull (fusain dan durain) tetapi kurang berlimpah dibanding lapisan vitrain dan clarain.
• Stress regional juga mempengaruhgi banyak sedikitnya rekah.

Spasi rekah juga bisa diperkirakan dari nilai HGI, dimana makin tinggi HGI makin kecil spasi rekahanya ( makin banyak rekah).